Uang Kuliah, antara Kepentingan Kampus juga Mahasiswa

Uang Kuliah, antara Kepentingan Kampus juga Mahasiswa

BeritaMakassar.com – Kabar melonjaknya uang kuliah tunggal (UKT) pada PTN kembali mengisi ruang pemberitaan di dalam media. Lonjakan besaran UKT yang digunakan mencapai puluhan persen dibandingkan tahun sebelumnya memunculkan tanda tanya mengapa terjadi kenaikan tersebut.

Disadari atau tak kenaikan tajam yang dimaksud terjadi berkaitan dengan keinginan dari beberapa orang PTN untuk alih status kelembagaan menjadi berbadan hukum. Menjadi badan hukum adalah impian sebagian besar PTN dikarenakan dengan status tersebut, terdapat tambahan kewenangan otonom di tempat bidang akademik maupun nonakademik. Salah satunya kewenangan dimaksud merupakan hak untuk menetapkan besaran penghasilan sendiri atau remunerasi tanpa intervensi pihak pada luar kampus.

Polemik kenaikan UKT akhirnya mengerucut menjadi dua pendapat, yaitu opini yang dimaksud mewakili ucapan kampus dan juga opini yang dimaksud mewakili kepentingan mahasiswa. Dari sisi kampus arus utama opini merujuk pada isu terkait kesejahteraan tenaga pendidik.

Kenaikan UKT adalah salah satu alasan agar kualitas institusi belajar tinggi pada tanah air menjadi lebih besar bermutu. Sebaliknya dari sisi peserta didik pun berargumen bahwa kenaikan uang kuliah yang digunakan ditanggung menjelma sebagai beban tambahan bagi orang tua mahasiswa.

Terlepas dari pendapat mana yang tersebut lebih besar logis, selayaknya diperlukan titik temu melawan perbedaan pendapat yang tersebut muncul. Sebuah pertanyaan apakah kedua pendapat yang mana berlawanan tak dapat diselaraskan? Jawabannya tentu bisa.

Memberikan penghasilan yang dimaksud layak bagi pendidik sekaligus mengerem kenaikan UKT sangat mungkin saja dilakukan. Untuk mempertemukan kedua pendapat yang dimaksud dapat dilaksanakan melalui kajian secara mendalam terhadap dua topik, yaitu kesulitan aset dan juga struktur belanja pada PTN.

Aset merupakan titik fokus pertama pada kekisruhan yang muncul. Aset bagai pedang bermata dua, mampu menjadi beban sekaligus berpotensi menjadi sumber pendapatan. Bagi sebagian besar PTN, besarannya aset yang mana dikuasai teristimewa aset tanah adalah beban berat yang dimaksud harus diterima.

Memegang amanah dalam bentuk aset tanah yang mana luas adalah salah satu kelebihan PTN dibandingkan dengan PTS. Hanya semata ketika berbicara mengenai tanah sebagai faktor produksi, ternyata bagi PTS dengan aset tanah yang mana minimalis malah menjadi sebuah berkah tersendiri.

PTS mampu mengoptimalkan tanah yang tersebut dimiliki untuk penyelenggaraan pendidikan. Ciri khas pada PTS adalah lokasi gedung perkuliahan yang dimaksud mengumpul, dengan struktur bangunan vertikal, serta memiliki prasarana tambahan non lembaga pendidikan yang digunakan terbatas.

Hanya sedikit PTS mengalokasikan lahan khusus untuk taman, kolam, ataupun prasarana untuk tujuan estetika. Memang dari sisi keindahan kurang menarik utuk dilihat, tetapi secara efisiensi penyelenggaraan layanan PTS akan mempunyai struktur pembentuk tarif yang digunakan tambahan efisien.

Luasan lahan pada PTN kontras dengan yang digunakan terjadi pada PTS. Sebuah PTN bisa jadi mengatur lahan hingga puluhan bahkan beratus-ratus hektar. Akibat lahan yang tersebut begitu luas, pola konstruksi gedung pada PTN pun cenderung divergen dibandingkan pada PTS.

Alasan yang tersebut mendasari salah satunya adalah sebagai fungsi pengamanan berhadapan dengan lahan yang tersebut dikuasai. Dengan adanya gedung menyebar dalam lahan yang mana dikuasai maka akan mengempiskan kemungkinan pengambilalihan lahan oleh pihak lain.

Sayangnya, terdapat beban tambahan yang tersebut akhirnya muncul melawan pola perkembangan tersebut. Biaya operasional maupun pemeliharaan pun meningkat. Contoh beban yang mana akhirnya timbul adalah ketersediaan personel di dalam setiap gedung untuk menjaganya setiap saat. Seandainya beberapa jumlah gedung mengumpul dengan struktur vertikal maka keperluan personel untuk menjaga sanggup diminimaliasi jumlahnya dikarenakan cuma dibutuhkan penjaga pada lantai dasar bangunan.

Kelebihan lain menghadapi luasnya lahan yang digunakan dikelola adalah tersedianya berbagai sarana tambahan yang menjadi nilai tambah PTN. Berbagai taman, kolam, lalu berbagai ornamen yang tersebut menarik dapat disisipkan dalam antara sela-sela gedung perkuliahan. Hanya cuma perlu diingat bahwa keberadaan berbagai prasarana yang dimaksud bukanlah gratis. Ada biaya tambahan yang tersebut dikeluarkan agar fungsi prasarana yang dimaksud tetap memperlihatkan beroperasi sebagaimana mestinya.

Ketersediaan berbagai prasarana tambahan yang ada atau beban pemeliharaan aset yang dimaksud dikuasai, merupakan alasan mengapa dibutuhkannya pemberdayaan aset. Pemberdayaan aset bukanlah dimaknai bahwa aset yang digunakan dikuasai harus memberikan kontribusi menguntungkan bagi institusi, melainkan tambahan terhadap meminimalisasi beban yang dimaksud ditanggung kampus untuk memelihara aset yang digunakan dikuasai.

Sehingga keberadaan infrastruktur tambahan yang tersebut ada tidak menjadi beban siswa melalui UKT namun aset yang mana dikuasai mampu memberikan hasil agar beban operasionalnya dapat dibiayai dari pendapatan melawan aset tersebut. Di sinilah perlunya manajemen kampus untuk kreatif mencari mitra kerja sebanding pada mengatur lahan dengan tujuan beban yang mana selama ini dialihkan ke peserta didik mendapatkan alternatif lain di membiayainya.

Permasalahan selanjutnya berkaitan dengan struktur belanja pada PTN. Selama ini perguruan tinggi mengalokasikan sekitar 40% dari pendapatan yang diterimanya untuk membiayai remunerasi. Sedangkan untuk permintaan operasional maupun pengembangan layanan dialokasikan sebesar 60%.

Sebenarnya tidaklah ada ketentuan tertoreh berapa porsi besaran remunerasi yang mana ideal, namun ketika menyandingkan dengan praktik pada sektor kemampuan fisik maka hitungan 40% menjadi sebuah kesepakatan. Pada sektor kesehatan, besaran jasa pelayanan/jasa medis sebesar 40% dari tarif yang digunakan dibayarkan oleh pasien.

Proporsi yang disebutkan yang digunakan kemudian menjadi acuan mengenai pembagian remunerasi pada PTN. Jika terdapat keinginan untuk memberikan penghasilan yang digunakan layak untuk para pendidik maka terdapat beberapa alternatif yang dimaksud bisa jadi dipilih, yaitu :

1. 1. Menaikkan besaran pendapatan PTN,
2. 2. Menggunakan porsi belanja remunerasi lebih banyak dari 40%, atau
3. 3. Mengurangi jumlah total pegawai (khususnya pegawai nonpendidik atau supporting).

Alternatif pertama paling mudah diadakan mengingat dengan meninggikan UKT maka pendapatan pun akan meningkat. Perbaikan pendapatan akan menambah alokasi yang digunakan untuk membiayai remunerasi.

Selain dengan meningkatkan UKT, cara lain yang tersebut mampu ditempuh adalah menambah kelas-kelas baru sebagai pendongkrak kenaikan pendapatan. Kedua cara meninggal pendapatan bukanlah hal yang dimaksud bebas tantangan. Kenaikan UKT pasti akan diwarnai dengan rasa ketidakpuasan di dalam kalangan peserta didik sedangkan menambah kelas baru akan linier dengan tambahan sumber daya untuk memperkuat penyelenggaraan kelas tersebut.

Tambahan kelas baru akhirnya akan jadi siklus bahwa kenaikan pendapatan dari kelas yang dimaksud akan menggalakkan penambahan total pegawai baru, selanjutnya akan memulihkan besaran remunerasi yang digunakan diterima ke hitungan semula lantaran total pembaginya bertambah banyak.

Alternatif kedua, yaitu meningkatkan porsi belanja lebih banyak dari 40%, terlihat mudah tetapi konsekuensi pengurangan belanja untuk operasional lalu layanan akan segera terlihat oleh masyarakat. Mungkin di tempat antara kita pernah mengamati kondisi kampus yang digunakan catnya kusam atau sarana perkuliahan yang tersebut tiada terawat, fakta yang disebutkan adalah dampak dari pengurangan belanja operasional pada sebuah kampus.

Sebenarnya pengurangan belanja operasional dapat ditempuh dengan otomasi layanan pada PTN. Pada dunia kesehatan, SIMRS (Sistem Data Manajemen Rumah Sakit) telah menjadi sebuah keinginan sedangkan pada dunia lembaga pendidikan masih terdapat banyak perguruan tinggi yang belum memiliki SIM terintegrasi.

SIM terintegrasi pada perguruan tinggi akan menggabungkan seluruh perangkat lunak yang tersebut selama ini ada menjadi sebuah perangkat lunak tunggal di layanan PTN. Idea ideal SIM pada perguruan tinggi seharusnya mencakup mulai dari layanan mahasiswa, pengaplikasian sarana dan juga prasarana pendidikan, pengelolaan aset, hingga perhitungan capaian kinerja para pegawai.

Praktis SIM terintegrasi akan memangkas biaya operasional termasuk mengempiskan beban penyelesaian tugas administrasi yang tersebut selama ini dijalankan secara manual dan juga berulang. Hasil dari efisiensi pada belanja operasional dapat dialihkan untuk peningkatan kesejahteraan para pendidik.

Alternatif terakhir berkaitan dengan restrukturisasi pegawai khususnya non pendidik atau tenaga pendukung. Opsi ini adalah hal yang mana secara teori mudah diucapkan namun susah untuk dipraktikkan. Hal yang mana menyebabkan restrukturisasi pegawai menjadi susah dikarenakan ada unsur “perasaan” yang dimaksud akan mempengaruhi jiwa si pengambil kebijakan. A

lternatif kedua serta ketiga merupakan alternatif yang digunakan saling berkaitan satu mirip lain. Otomasi layanan akan berkorelasi dengan jumlah keseluruhan pegawai yang dibutuhkan. Semakin manual sebuah pekerjaan diadakan maka semakin sejumlah pegawai yang dimaksud diperlukan, sebaliknya semakin otomatis sebuah pekerjaan maka permintaan pegawai bisa jadi ditekan.

Sebagai sebuah institusi akademik, seharusnya PTN mampu untuk memprioritaskan pengembangan SIM terintegrasi untuk peningkatan layanan dibandingkan untuk masih menjadi sebuah institusi “padat karya”.

Nah, bagi manajemen PTN perlu melakukan benchmarking ke PTS mengenai struktur biaya yang menjadi penentu besaran uang kuliah. PTN pada waktu ini masih sebagai primadona akibat “branding” yang digunakan melekat di tempat benak masyarakat. Tapi apakah akan selamanya branding yang dimaksud menjadi pemikat?

Banyak merek ternama di tempat dunia yang akhirnya mengalami masa “declining” setelahnya sekian waktu menjadi penguasa pasar. Sebelum hal yang dimaksud terjadi, yuk kita bedah struktur belanja pada PTN masing-masing. Mana kelompok belanja yang mana penting serta mendesak dan juga mana kelompok belanja yang digunakan bisa jadi ditunda atau diefisiensikan. Tujuannya tentu semata agar PTN menjadi sebuah institusi yang tersebut mengayomi semua pihak, prima terhadap siswa dan juga asyik bagi tenaga pendidik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *