beritamakassar.com – JAKARTA – Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden lalu delegasi presiden atau presidential threshold . Menurutnya, DPR RI dan juga pemerintahan akan menindaklanjuti putusan MK tersebut.
“Kami menghormati menghargai putusan MK yang tersebut menghapus persentase presidential threshold sebagaimana di ketentuan UU pada waktu ini,” kata Rifqi untuk wartawan, Kamis (2/1/2025).
Rifqi menyampaikan, DPR bersatu eksekutif akan menindaklanjuti putusan MK dengan membentuk norma baru di area UU Pemilu.
“Selanjutnya tentu otoritas juga DPR akan menindaklanjutinya di pembentukan norma baru di area UU terkait dengan persyaratan pencalonan presiden kemudian delegasi presiden,” ucap Rifqi.
Dengan adanya putusan itu, ia menilai, hal ini menunjukkan putaran baru bagi demokrasi konstitusional Indonesia. Apalagi, kata dia, setiap partai urusan politik (parpol) berpeluang mengusung pasangan calon presiden juga delegasi presiden.
“Apa pun itu MK keputusannya adalah final and binding, sebab itu kita menghormati lalu kita berkewajiban untuk menindaklanjutinya,” tandasnya.
Diketahui, MK mengabulkan gugatan perihal persyaratan ambang batas calon partisipan pilpres. Putusan dibacakan dalam Ruang Sidang Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025). “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo.
Adapun norma yang dimaksud diujikan oleh para Pemohon adalah Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang digunakan menyatakan, pasangan calon diusulkan oleh partai urusan politik atau gabungan partai kebijakan pemerintah partisipan pilpres yang dimaksud memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah agregat kursi DPR atau memperoleh 25% dari pernyataan sah secara nasional pada pemilihan anggota DPR sebelumnya.
“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta tidak ada mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Suhartoyo.