www.BeritaMakassar.com – Naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di dalam perguruan tinggi negeri (PTN) sudah pernah memicu gelombang membantah dari berbagai pelajar pada berbagai wilayah di tempat tanah air. Bahkan, ada yang mana sampai mengalami kenaikan UKT hingga mencapai 500%.
Kenaikan ini memberatkan peserta didik juga keluarga, sekaligus menyoroti ketergantungan banyak universitas pada UKT sebagai sumber pendapatan utama. Hal itu menuntut solusi yang mana lebih lanjut komprehensif kemudian berkelanjutan berbentuk diversifikasi sumber pendapatan universitas.
Sebagai mantan rektor, saya menyaksikan secara langsung tantangan yang harus dihadapi universitas di menyeimbangkan pendapatan juga kualitas pendidikan. Secara umum, universitas mempunyai tiga penyangga operasional selain UKT, yakni jasa riset serta konsultansi, Badan Usaha Milik Kampus (BUMK), dan juga monetisasi Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Namun, tiap penyangga memang benar miliki kompleksitas tersendiri yang tersebut memerlukan tata kelola serta penanganan secara bijaksana.
UKT merupakan sumber pendapatan utama bagi sejumlah universitas negeri di area Indonesia. Fakta dari Kementerian Pendidikan juga Kebudayaan mencatat pada tahun 2019, lebih tinggi dari 60% pendapatan universitas negeri berasal dari UKT. Kenaikan UKT mengakibatkan kontroversi, teristimewa terkait aksesibilitas pendidikan.
Dengan Pendapatan Domestik Bruto per kapita Indonesia yang tersebut mencapai US$ 4.050 pada tahun 2020, kenaikan UKT dapat mempersulit akses bagi keluarga berpenghasilan rendah. Menurut laporan Bank Dunia, 25% keluarga dalam Indonesia masih hidup di tempat bawah garis kemiskinan, sehingga kenaikan UKT cuma memperlebar kesenjangan akses lembaga pendidikan tinggi.
Dalam konteks menurunkan beban UKT, mari kita lihat bagaimana mengoptimalisasi tiga penyangga operasional universitas yang tersebut disebutkan sebelumnya: jasa riset juga konsultansi, BUMK, dan juga monetisasi HAKI.
Jasa konsultansi tampak menjanjikan sebagai sumber pendapatan. Namun, implementasinya seringkali kurang efektif. Sebuah studi oleh Universitas Indonesia pada tahun 2018 menemukan bahwa kurang dari 20% proyek riset yang digunakan dikerjakan dosen berkontribusi secara finansial untuk universitas.
Hal ini antara lain dikarenakan kurangnya tata kelola yang digunakan mengurangi pemakaian modalitas universitas (baik branding maupun logistik operasional) untuk proyek-proyek berafiliasi pribadi. Hal ini menciptakan situasi dalam mana prospek pendapatan dari jasa konsultansi untuk institusi tidaklah terwujud sepenuhnya.
Pengembangan BUMK seperti wisma atau asrama siswa adalah strategi yang mana menjanjikan namun memerlukan penanaman modal kapital (CapEx) yang digunakan besar. Tidak semua universitas miliki kemampuan finansial untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang besar tanpa mengorbankan pembangunan ekonomi pada aspek lain dari pendidikan.
Sebagai contoh, Universitas Gadjah Mada (UGM) membutuhkan penanaman modal sebesar Simbol Rupiah 200 miliar untuk konstruksi asrama pelajar baru, sementara anggaran tahunan dia sebagian besar sudah ada terserap untuk operasional dasar. Tanpa dukungan finansial yang digunakan kuat, pengembangan BUMK kerap kali terganggu di area tahap perencanaan.
Di sisi lain, pemanfaatan HAKI di area kalangan universitas masih tergolong minim. Laporan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual pada tahun 2021 menyebutkan bahwa semata-mata 5% dari paten yang mana didaftarkan oleh universitas yang tersebut berhasil dimonetisasi.
Kurangnya sinkronisasi antara riset yang dimaksud dihasilkan dengan permintaan bidang banyak kali menjadi penghambat. Sebagai contoh, riset dalam bidang teknologi pertanian yang mana diadakan universitas seringkali tiada sesuai dengan keinginan aktual petani, sehingga paten yang tersebut dihasilkan tidak ada dapat diaplikasikan secara praktis di tempat lapangan.
Diversifikasi sumber pendapatan menjadi kunci untuk menurunkan ketergantungan pada UKT. Kerja mirip dengan bidang dapat menjadi salah satu solusi. Universitas dapat mengembangkan inisiatif kerjasama yang mana tidak ada belaka mencakup riset tetapi juga praktek kerja, magang, dan juga sponsor.
Model ini telah terjadi berhasil diterapkan di area negara-negara seperti Jerman kemudian Korea Selatan, di tempat mana bidang juga universitas bekerja sebanding pada penyelarasan kurikulum dengan keinginan lingkungan ekonomi kerja. Di Indonesia, PT. Telkom telah dilakukan memulai acara kerja identik dengan berbagai universitas untuk menciptakan inisiatif sekolah yang digunakan relevan dengan lapangan usaha telekomunikasi, menunjukkan kemungkinan model kerja serupa ini jikalau diterapkan tambahan luas.
Program institusi belajar eksekutif serta sertifikasi juga bisa jadi menjadi sumber pendapatan yang mana signifikan. Informasi dari Harvard Business School menunjukkan bahwa kegiatan eksekutif dia mendatangkan pendapatan tahunan yang signifikan.
Universitas di tempat Indonesia dapat mengembangkan kegiatan sejenis yang mana berusaha mencapai profesional yang dimaksud ingin meningkatkan keterampilan mereka. Menurut laporan McKinsey, terdapat peningkatan permintaan untuk pelatihan serta sertifikasi dalam kalangan profesional muda di dalam Indonesia, yang menunjukkan lingkungan ekonomi potensial untuk program-program ini.
Penggalangan dana melalui jaringan alumni dapat meningkatkan pendapatan universitas. Model ini telah lama lama diterapkan oleh universitas top Amerika Serikat (AS) seperti Harvard lalu Stanford. Fakta dari Council for Aid to Education menunjukkan bahwa kontribusi dari alumni mencapai miliaran dolar setiap tahunnya.
Universitas Indonesia kemudian Institut Teknologi Bandung telah terjadi memulai upaya untuk menggalang dana dari alumni mereka, namun upaya ini masih perlu ditingkatkan untuk mencapai peluang maksimal.
Permasalahan pendanaan serta kualitas lembaga pendidikan tinggi di dalam Indonesia adalah kompleks lalu membutuhkan pendekatan yang dimaksud komprehensif. Diversifikasi pendapatan melalui pengembangan kerja sejenis industri, kegiatan eksekutif, dan juga kegiatan penggalangan dana mampu menjadi bagian dari solusi jangka panjang.
Penting bagi pemangku kepentingan sekolah untuk berkolaborasi di menciptakan lingkungan yang menggalang keberlanjutan kemudian kualitas sekolah tinggi, agar dapat terus menjadi harapan untuk keberadaan yang tersebut tambahan baik bagi generasi mendatang. Dengan mengadopsi strategi-strategi ini, universitas dalam Indonesia dapat menguatkan sikap merek sebagai lembaga institusi belajar yang mana unggul serta berkontribusi tambahan signifikan terhadap pengerjaan nasional.













