BeritaMakassar.com – JAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celiode) Bhima Yudhistira menyarankan, pemerintah untuk menunda rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 mendatang. Pelaksanaan ketentuan kenaikan PPN yang telah diatur di Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 itu akan ditentukan oleh pemerintahan mendatang.
“Tunda dulu kenaikan tarif PPN 12 Pesen . Kalau sanggup turunkan tarif PPN pada waktu ini menjadi 8-9% untuk menstimulus konsumsi domestik ,” jelas Bhima, Awal Minggu (5/8/2024).
Bhima menilai, meskipun PPN 12% ini telah masuk asumsi di menghasilkan postur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2025, pemerintah sejatinya masih bisa saja menunda kenaikan tarif PPN menjadi 12% dengan beberapa pertimbangan tertentu. Sebab, berdasarkan Pasal 7 ayat (3) UU HPP, tarif PPN dapat diubah paling rendah 5 persen juga paling tinggi sebesar 15 persen.
“Berdasarkan pertimbangan perkembangan sektor ekonomi dan/atau peningkatan keperluan dana untuk pembangunan, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen juga paling tinggi 15 persen,” demikian bunyi ayat penjelas dari Pasal 7 ayat (3) aturan Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Dikatakan Bhima, apabila pemerintah ingin melakukan inovasi tarif PPN, maka harus menyampaikan untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk dibahas kemudian disepakati pada penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan juga Belanja Negara (RAPBN).
Dalam kesempatan yang tersebut sama, Ia membeberkan beberapa dampak yang dimaksud akan segera dihadapi Indonesia apabila Amerika Serikat (AS) mengalami resesi ekonomi. Menurutnya, resesi dunia usaha dalam Amerika Serikat akan memproduksi sikap bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), mengenai suku bunga menjadi makin sulit ditebak. Hal itu sanggup berdampak pada pelemahan kurs rupiah akibat pemodal bergeser ke aset yang tersebut tambahan aman (safe haven).
“Kalau ada indikator resesi yang dimaksud semakin menguat, ketidakjelasan sikap dari bank sentral Amerika, (maka para pemodal dapat beralih) ke safe haven-nya (aset yang lebih besar aman) mampu beragam, bisa jadi emas, bisa saja kemudian dolar Amerika pada jangka menengah,” kata Bhima pada Biweekly Brief CELIOS, Mulai Pekan (5/8/2024) malam.
Implikasi kedua yaitu cadangan devisa merosot akibat lemahnya permintaan ekspor ke AS. Efek selanjutnya, yaitu suku bunga Negeri Paman Sam yang mana masih akan tinggi untuk menjaga dari keluarnya dana asing teristimewa di area pangsa surat berharga.