News  

Analisa Mendalam, Apa yang Terjadi Jika Merapi Meletus di Saat Pandemi Virus Corona?

BERITAMAKASSAR.com — Gunung Merapi (2.930 mdpl) akhir bulan lalu meletus sebanyak enam kali. Pada 27-28 Maret 2020 letusannya bahkan berlangsung empat kali dalam 24 jam.

Percakapan di sejumlah grup-grup media sosial ramai menghubungkan letusan beruntun itu dengan pandemi wabah virus Corona.

Dipercaya letusan itu mampu membunuh virus mematikan yang bergentayangan di kota-kpota sekitar gunung dari abu vulkanik yang disebarkan.

Bahkan muncul foto-foto dan video yang diklaim memunculkan penampakan Semar, tokoh pewayangan yang dipercaya jadi tanda bakal segera berakhirnya wabah ini.

Pakar gunung berapi Badan Geologi Kementerian ESDM, Drs Subandriyo MSc menjelaskan fenomena keduanya. Ia juga menyodorkan analisis erupsi dan mitigasi kebencanaan jika kedua peristiwa itu muncul bersamaan.

“Tidak ada kaitan sama sekali antara meledaknya pandemi Covid-19 dengan meletusnya Gunung Merapi. Tidak ada juga bukti abu vulkanik menghambat penyebaran virus, sebagaimana pernah diberitakan lewat media sosial,” kata Subandriyo.

Penyelidik Bumi Madya ini secara khusus menyampaikan ulasannya kepada Tribunjogja.com, Kamis (9/4/2020) malam.

“Tetapi bila dua sumber ancaman ini terjadi secara bersamaan di suatu wilayah, tentu akan mempunyai implikasi yang luas,” lanjutnya.

Subandriyo mengutip bunyi pepatah lama Jawa yang bisa menggambarkan apa yang sedang terjadi di tengah masyarakat saat ini.

“Ana babak nglayoni, jujul anyusuli,” kutipnya terhadap kalimat janturan, terkhusus yang terjadi di wilayah Provinsi Jateng dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kurang lebih artinya ada kejadian penting susul menyusul.

Ia mengurutkan kronologi ketika 2 Maret 2020 Presiden Joko Widodo mengumumkan pandemi Covid-19 masuk Indonesia.

Kemudian 3 Maret 2020 terjadi erupsi Merapi setelah relatif mereda di akhir 2019. Pandemi Covid-19 berkembang cepat dan meluas, sementara Merapi meletus lagi pada 27 Maret 2020 dan beberapa hari sesudahnya.

EMPAT FASE

Dijelaskan mantan kepala Balai Penyelidikan Pengembangan dan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, aktivitas Merapi terbagi empat fase.

Yaitu fase relaksasi, fase pengisian dapur magma, fase migrasi, dan fase erupsi magmatis. Fase relaksasi merupakan fase akhir proses erupsi 2010 (post erution proccess) yang berlangsung hingga 2011.

“Aktivitas vulkanik yang menonjol adalah hembusan gas vulkanik, kemudian muncul kubah lava baru yang menandai akhir dari satu siklus erupsi,” jelasnya.

“Kubah lava yang muncul pada fase akhir suatu siklus erupsi akan menutup pipa kepundan Gunung Merapi, sehingga sering disebut sumbat lava,” kata Pak Ban, sapaan akrabnya.

Fase pengisian dapur magma, menurut Subandriyo, muncul setelah terjadi letusan besar. Dapur magma terisi kembali (magma witdrawal). Proses pengisian dapur magma ini berlangsung antara tahun 2012-2014 yang ditandai oleh beberapa kali letusan freatik.

Letusan freatik terjadi akibat unsur volatil (gas vulkanik) yang panas bergerak ke permukaan berinteraksi dengan air tanah sehingga terbentuk tekanan uap secara mendadak.

Oleh karena pipa kepundan tersumbat kubah lava, maka terjadi akumulasi tekanan yang memicu letusan. Ciri utama letusan freatik adalah material yang dilontarkan tidak ada juvenil (material dari magma baru).

Fase migrasi magma, menurut peneliti yang bertahun-tahun “merawat Merapi ini, magma bergerak ke permukaan karena gaya apung, yaitu magma memiliki berat jenis yang lebih rendah dari batuan sekitarnya.

Magma menurutnya dalam bahasa teknis, terdorong ke atas untuk melawan tekanan litostatik.

Karena tekanan litostatik makin kecil ke arah vertikal, sementara makin ke atas mendekati permukaan, unsur volatil akan terlepas sehingga terbentuk tekanan berlebih (excess pressure).

Migrasi magma ke permukaan kata Subandriyo, akan menimbulkan retakan batuan sehingga banyak muncul gempa-gempa vulkanik.

Disamping itu, semakin banyak volume magma yang bermigrasi menimbulkan deformasi permukaan tubuh gunung.

Bahasa sederhanya, tubuh gunung akan membengkak atau menggembung. Fase erupsi magmatis selanjutnya menurut Subandriyo, diawali letusan-letusan minor, yang juga biasa disebut freatik karena kemungkinan terjadi interaksi dengan air tanah.

Letusan minor (freatik) pada fase ini terjadi secara beruntun, berbeda dengan letusan freatik pada fase pengisian dapur magma.

Di fase pengisian dapur magma, letusannya biasanya tunggal (single event). Setelah letusan-letusan minor mereda, pada 11 Agustus 2018 muncul kubah lava baru yang menandai sebagai erupsi magmatis pertama kali pasca erupsi besar 2010.

Pertumbuhan kubah lava berjalan lambat dengan laju kurang dari 3.000 meter kubik per hari.

Pertumbuhan kubah lava berlangsung hingga 2019 yang sering disertai awan panas kecil dengan jarak luncur kurang dari 2 kilometer ke arah Kali Gendol.

Pada akhir 2019 pertumbuhan kubah lava berhenti.

Kemudian pada Februari 2020 mulai ada peningkatan kegempaan, yang ditunjukkan dengan banyaknya gempa-gempa vulkanik dalam.

“Ini indikasi pasokan magma baru. Pada 3 Maret 2020 terjadi letusan minor (freatik) yang cukup besar dengan ketinggian kolom letusan hingga 6 km di atas puncak,” ujar Subandriyo.

Pada 27 Maret 2020 kembali terjadi letusan minor dengan ketinggian kolom letusan mencapai 5 km di atas puncak.

Setelah itu terjadi letusan beruntun sebanyak 4 kali hinggal 28 Maret 2020, dengan skala yang lebih kecil.

Letusan-letusan minor yang terjadi secara beruntun seperti ini, dalam catatan Pak Ban, pernah terjadi pada Mei 2018, yang kemudian diikuti munculnya kubah lava 3 bulan kemudian yaitu pada 11 Agustus 2018.

KUBAH LAVA BARU

Oleh sebab itu, kejadian letusan-letusan minor yang terjadi pada Maret 2020 ini kemungkinan sebagai awal munculnya kubah lava baru.

Apakah ini mengindikasikan Merapi akan mengulang aktivitas 2010, letusan sangat besar bersifat eksplosif yang merenggut korban demikian banyak.

Letusan 2010 menurut data pernah terjadi pada 1872. Kemiripannya meliputi magnitude, gejala awal maupun aktivitas pasca erupsinya.

Pasca erupsi 1872 juga terjadi beberapa kali erupsi minor (Voight, 2000), sebelum terjadi erupsi magmatis tahun 1883. Kedua erupsi besar tersebut disebabkan magma yang kaya gas vulkanik.

Perilaku Merapi setelah letusan besar antara 1872 dengan 2010 hingga saat ini masih konruen. Pada fase pengisian dapur magma, terjadi letusan freatik murni antara tahun 1878-1879 identik dengan letusan freatik antara 2012-2014.

Saat itu terjadi letusan tunggal tapi tidak ada aktvitas vulkanik lebih lanjut. Pada 1883-1885 mulai terjadi pertumbuhan kubah lava.

Ini menandai erupsi magmatik pertama pasca letusan besar 1872. Fase ini identik dengan erupsi 2018-2019 yang menandai erupsi magmatis sekuen pertama pasca 2010.

Pada tahun 1885-1887 terjadi pertumbuhan kubah lava yang diawali dengan beberapa kali letusan eksplosif.

Lalu apakah serangkaian letusan eksplosif yang terjadi sejak awal Maret 2020 sebagai gejala awal munculnya kubah lava baru?

Apabila dalam beberapa minggu ke depan muncul kubah lava baru, merupakan erupsi magmatis sekuen kedua. Artinya sejarah akan berulang.

Nah, sekarang apa kaitan pandemik virus Corona dan letusan Merapi? Menurut Subandriyo wabah itu dan erupsi Gunung Merapi merupakan dua sumber bencana yang saling indipenden, tidak ada kaitannya sama sekali.

Oleh karena sumua jenis bencana akan bermuara ke masalah sosial, maka bila tidak ditangani secara tepat akan berpotensi menimbulkan bencana besar.

“Sebagaimana kita ketahui, sifat dan karakter Covid-19 sangat mudah dan cepat menular,” katanya. Lalu, bagaimana mitigasinya jika kedua masalah ini terjadi bersamaan?

Riwayat 2010, letusan Merapi menimbulkan luncuran awan panas guguran dengan jarak luncur sangat jauh mengikuti alur Kali Gendol.

Berdasarkan fakta sejarah, lebih 90 persen awan panas guguran Merapi mengikuti arah bukaan kawah yang sejak tahun 2006 ke arah Kali Gendol, sektor selatan-tenggara.

Wilayah yang terancam meliputi Desa Glagaharjo, Desa Kepuharjo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman dan Desa Balerante, Kabupaten Klaten.

EMPAT SKENARIO

Berdasarkan skenario ini, diperkirakan jumlah pengungsi lebih dari 4.000 KK atau sekitar 16 ribu jiwa.

Apabila terjadi pengungsian mendadak, akan terjadi interaksi jarak dekat antar pengungsi dan antara pengungsi dengan petugas dan relawan.

Kebijakan social distancing dan physical distancing tidak bisa berjalan, sehingga berpotensi terjadi penyebaran Covid-19 secara masif.

Bagaimana langkah-langkah preventif untuk mitigasi bencananya? Subandriyo menjelaskan empat langkahh yang harus dilakukan sesuai tahapan peringatan dini bahaya Gunung Merapi.

Pertama, menurutnya pada level status Waspada, perlu disusun revisi rencana kontijensi dengan skenario dua sumber ancaman bencana yaitu letusan Merapi dan Covid-19

Kedua, pada tingkat Siaga, perlu dilakukan identifikasi penduduk yang terpapar Covid-19 di wilayah yang diperkirakan akan terdampak letusan sesuai skenario.

Mereka yang dinyakan positif, segera diambil tindakan medis sesuai protokol kesehatan.

Cara ketiga, lokasi dan cara pengungsian perlu diatur kembali dengan mempertimbangkan kebijakan social distancing dan physical distancing tetapbisa diterapkan.

Implikasinya perlu tempat pengungsian yang lebih luas. Kebijakan sister villages mungkin tidak tepat diterapkan untuk saat ini.

Keempat, pada level status tertinggi, Awas, semua penduduk yang diperkirakan akan terdampak sudah harus diungsikan.

Pada saat membantu pengungsian, perlu pengendalian jumlah petugas dan relawan serta mereka harus teridentifikasi kesehatannya dengan baik.

Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Analisa Mendalam, Apa yang Terjadi Jika Merapi Meletus di Saat Pandemi Virus Corona?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *