BeritaMakassar.com – Bisnis pertahanan merupakan salah satu kegiatan perniagaan yang paling kompleks serta rumit di dalam dunia mengingat karakter teknologi yang dimaksud dibutuhkan, modal yang mana diperlukan kemudian lingkungan ekonomi yang tersebut diatur dengan ketat oleh aturan nasional dan juga internasional. Kompetisi antar pabrikan pertahanan sangat ketat, dalam mana beberapa firma pertahanan memiliki lini perusahaan yang digunakan lintas sektor, sementara perusahaan-perusahaan lain berfokus pada satu sektor saja.
Fakta menunjukkan bahwa penghasil beragam jenis sistem senjata di tempat dunia sudah ada terpencil berkurang dibandingkan 35 tahun lalu berkat konsolidasi sektor pertahanan di dalam negara-negara forward sejak Perang Dingin berakhir. Sebagai konsekuensinya, pilihan-pilihan sumber pengadaan senjata bagi negara-negara berprogres menjadi semakin sedikit sebab biaya pengembangan sistem senjata telah melonjak tajam dibandingkan pada masa lalu.
Peran negara pada bidang usaha pertahanan sangat menonjol dengan pertimbangan bahwa kegiatan yang dimaksud mempengaruhi kepentingan nasional negara yang dimaksud bersangkutan. Selain sebagai konsumen tunggal bagi produk-produk lapangan usaha pertahanan, entitas negara juga mengatur ekspor produk-produk pertahanan ke lingkungan ekonomi internasional.
Pengaturan demikian menciptakan tidak ada semua item pertahanan dapat diakses oleh para konsumen pada pangsa antar bangsa, sebab senjata belaka dapat diekspor ke mancanegara ke negara-negara penerima yang dianggap bersahabat secara urusan politik dengan negara produsen. Peraturan tentang ekspor senjata juga dimaksudkan pula untuk pengendalian ekspor teknologi pertahanan forward lalu atau dual use technology, baik pada tingkat nasional maupun internasional.
Pengaturan ketat ekspor senjata oleh negara produsen kemudian kompetisi ketat antarindustri pertahanan memberikan implikasi terhadap konsumen, baik negara maju maupun negara berkembang. Sejumlah negara progresif yang tidaklah memproduksi sendiri beberapa sistem senjata progresif harus mau berkompromi dengan regulasi ekspor yang dimaksud diterbitkan oleh negara produsen senjata.
Sementara pada tingkat pabrikan sistem senjata, terkadang mereka menerapkan pembatasan ekspor sistem senjata ke negara-negara tertentu yang dimaksud didorong oleh kepentingan niaga daripada kepentingan politik. Pembatasan yang dimaksud terjadi terkadang disebabkan oleh kesepakatan produsen dengan konsumen tertentu yang tersebut membeli sistem senjata buatannya, dalam mana kesepakatan demikian sulit untuk dibuktikan namun bisa saja dirasakan oleh negara lain.
Kesepakatan yang disebutkan dikenal sebagai non–competition clause, dalam mana klausul demikian dapat berlaku pada kontrak transaksi jual beli barang atau jasa. Definisi non–competition clause adalah “a contractual promise by one party to refrain from conducting business of a similar nature to that of the other party“.
Dari perspektif hukum, bukan ada yang mana salah dengan non–competition clause sebab terdapat kebebasan berkontrak antara pihak-pihak terkait serta tidaklah pula melanggar hukum perdagangan internasional. Penting untuk dicatat bahwa perniagaan pada bidang senjata dikecualikan dari prinsip-prinsip perdagangan internasional.
Dalam perniagaan senjata, non–competition clause disetujui oleh pabrikan sebab nilai kontrak yang digunakan sangat besar juga persepsi bahwa negara pembeli adalah entitas yang mana mempunyai tempat strategis di percaturan kebijakan pemerintah keamanan global kemudian akan menjadi konsumen pada jangka panjang.
Seperti telah terjadi disinggung, produsen senjata menyetujui non–competition clause dengan pembeli berdasarkan pertimbangan niaga demi kelangsungan industri pada jangka panjang. Saat ini tiada ada produsen maupun konsumen sistem senjata yang digunakan mengakui secara terbuka tentang non–competition clause yang mana mengikat mereka, akan tetapi penerapan klausul yang dimaksud dapat dirasakan pada sistem senjata tertentu.
Lalu bagaimana bentuk non–competition clause pada perniagaan pertahanan? Setidaknya terdapat dua bentuk untuk klausul demikian yang dimaksud selama ini diterapkan. Pertama adalah tiada mengekspor sistem senjata yang digunakan sebanding ke negara-negara lain yang berminat.
Kedua ialah mengedarkan sistem senjata yang mana mirip ke negara-negara lain namun dengan kemampuan hard kill lalu soft kill yang mana telah lama diturunkan dibandingkan dengan negara yang mempunyai non–competition clause dengan pabrikan tersebut.
Indonesia perlu memiliki pemahaman tentang non–competition clause pada pembelian sistem senjata dari luar negeri, terlebih lagi pada pengerjaan kekuatan pertahanan untuk kurun masa 2025-2029. Pada masa tersebut, Kementerian Defense diharapkan akan kembali melanjutkan beberapa acara pengadaan yang dimaksud sudah ada berjalan pada MEF 2020-2029.
Satu dalam antaranya adalah pembelian kapal selam, di area mana galangan dengan syarat Prancis, Jerman dan juga Italia telah terjadi menunjukkan ketertarikan untuk menyuplai kapal selam diesel elektrik ke Indonesia. Selain isu penerapan teknologi (full) Lithium-ion Battery (LIB) pada kapal selam yang sudah menjadi pilihan kebijakan Kementerian Pertahanan, perlu pula diperhatikan persoalan kemungkinan eksistensi non-competition clause dengan pembeli lain yang tersebut mengikat para calon pemasok kapal selam.
Dari tiga calon pemasok kapal selam untuk Indonesia, Naval Group lalu TKMS merupakan dua galangan yang digunakan sudah pernah berjualan produk-produk untuk negara-negara lain di dalam sekitar Indonesia. Dalam kontrak dua kapal selam kelas Scorpene Evolved dengan Indonesia, Naval Group mengedarkan kapal selam dengan salah satu kemampuan yaitu meluncurkan rudal anti kapal permukaan SM39 Exocet dari bawah air.
Sebelumnya, kemampuan sama juga dimiliki oleh kapal selam kelas Scorpene yang dikirim ke luar negeri oleh DCNS (nama lama Naval Group) ke Malaysia. Melalui ekspor Scorpene Evolved ke Indonesia yang mana mempunyai kemampuan hard kill lewat rudal SM39 Exocet, pada melawan kertas pada tingkat minimal kemampuan Scorpene Evolved Indonesia tidaklah kalah dengan Scorpene yang dioperasikan oleh Malaysia.
Di luar isu tentang penerapan full LIB, merupakan tantangan bagi TKMS untuk dapat meyakinkan Indonesia tentang kemampuan hard kill kapal selam yang tersebut akan ditawarkan untuk memenuhi permintaan pertahanan periode 2025-2029. Merupakan suatu fakta bahwa kapal selam U218SG yang dimaksud dikirimkan ke pasar internasional oleh TKMS ke Singapura memang benar customized bagi kepentingan negara itu, termasuk pemakaian sebagian peralatan elektronika buatan sektor pertahanan Singapura.
Apakah TKMS dapat memasok kapal selam dengan kemampuan di tempat melawan kertas yang mana minimal mirip dengan negara tetangga apabila Indonesia meminta? Pertanyaan demikian sebenarnya telah lama menjadi topik diskusi pada kalangan yang terlibat kemudian atau miliki perhatian terhadap konstruksi kekuatan kapal selam Indonesia selama ini.
Sekali lagi, urusan tentang non–competition clause merupakan urusan produsen sistem senjata lalu pembeli. Kalaupun satu atau lebih besar galangan-galangan kapal selam yang tersebut melirik bursa Indonesia untuk periode 2025-2029 mempunyai non–competition clause dengan konsumen mereka, hal demikian tidak urusan Indonesia.
Akan tetapi Indonesia berkepentingan untuk mendapatkan kapal selam yang digunakan tidak sekadar mengadopsi teknologi propulsi forward sekaligus efisien di biaya operasional, namun juga mempunyai kemampuan hard kill serta soft kill yang minimal identik dengan negara-negara operator kapal selam diesel elektrik lainnya pada kawasan Indo Pasifik.
Seandainya Indonesia belum mampu mengadopsi kebijakan Qualitative Military Edge (QME), setidaknya kemampuan yang digunakan dipunyai setara dengan negara-negara lain.