YOGYAKARTA – Guru Besar Bidang Kesehatan dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Prof. RA. Yayi Suryo Prabandari membantah nikotin pembakaran rokok disebut bisa menjadi obat virus corona.
“Tidak benar, nikotin (dalam tubuh) justru seperti ngawe-awe virus corona,” katanya saat diskusi daring yang diselenggarakan FK-KMK UGM, Kamis (30/4/2020).
Ia menduga penelitian itu didasarkan pada kajian deskriptif, yang dalam penelitian kesehatan ini perlu diuji lagi.
Diketahui beberapa waktu lalu sempat beredar kabar nikotin dari pembakaran rokok disebut bisa menjadi obat virus corona.
Kabar tersebut pertama muncul dari seorang peneliti Prancis, yang mengklaim nikotin dapat menjadi obat corona.
Menurut peneliti Prancis tersebut, nikotin dari pembakaran rokok dapat menempel di paru-paru dan menghalangi virus SARS-CoV-2 untuk menginfeksi dan menimbulkan Covid-19.
Senada, dokter spesialis penyakit dalam konsultan pulmonologi RSUP Dr Sardjito, dr Sumardi, Sp.PD-KP menjelaskan perokok memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap Covid-19 jika ditinjau dari aspek patofisiologi.
Ia menyebut ada penelitian yang menyebutkan, merokok menyebabkan reseptor Ace-2 ini lebih kelihatan.
“Jadi kalau virus ini punya mata, maka nikotin menyebabkan reseptor ini lebih mudah terlihat oleh virus corona,” jelas dr Sumardi.
Ia menambahkan, nikotin memiliki link.
Merokok meningkatkan tampilan reseptor yang dikehendaki oleh virus corona supaya bisa mendapat makanan, kemudian masuk ke saluran napas.
“Nikotin bisa mengekspresikan reseptor jadi lebih kelihatan sehingga virus lebih mudah masuk,” imbuhnya.
Yayi menyampaikan peran penting promotor kesehatan (promkes) dalam memberikan pemahaman kepada perokok di masa pandemi Covid-19. Termasuk untuk men-screen isu-isu tidak benar yang beredar.
“Sekarang ada kebijakan stay at home. Apakah rumah-rumah sudah punya aturan bahwa tidak boleh merokok di dalam rumah? Ini berisiko tidak hanya bagi perokok aktif, tetapi juga perokok pasif,” lanjut Yayi.
Ia menyampaikan, promkes perlu berkomunikasi dengan perokok dengan pendekatan individu.
“Dimulai dengan pendekatan terbuka, apa yang mereka tahu tentang rokok ini? Kita dengarkan dulu. Perokok yang belum mau berhenti itu biasanya sangat defensif, bahwa rokok ini sudah menjadi bagian dari dirinya,” tutur Yayi.
Lebih lanjut, kata dia, ada tiga hal yang diperlukan seseorang untuk mengubah perilaku.
Yaitu, pertama niat untuk mewujudkan perubahan itu.
Kedua, perubahan perilaku itu didukung oleh lingkungan.
Selanjutnya, butuh keterampilan untuk menolak dengan bijak.
“Perlu keterampilan untuk menolak dengan bijak dan cantik. Oh maaf, saya sudah merokok tadi, atau oh maaf saya sudah tidak merokok. Sudah. Ini harus dilakukan berulang-ulang,” ungkapnya.
Selanjutnya, Yayi menyampaikan metode 5A dan 5R dalam mendampingi seseorang untuk berhenti merokok.
Yaitu, ask (bertanya tentang riwayat dan kebiasaan merokok), advice (memberikan penjelasan tentang akibat merokok), assess (melakukan pengkajian keinginan berhenti merokok), assist (membantu perokok mengidentifikasi cara untuk berhenti merokok), dan arrange (merencanakan pertemuan lanjutan untuk memonitor usaha berhenti.
Sedangkan, 5R yang dimaksud yaitu, relevance (mendiskusikan kaitan antara berhenti merokok dengan keadaan saat ini, semisal kondisi kesehatan dan keluarga), risk (menjelaskan risiko jika meneruskan kebiasaan merokok), reward (mengidentifikasi dampak positif dari berhenti merokok), roadblock (mendiskusikan hambatan yang mungkin terjadi), dan repetition (pengingatan dalam usaha berhenti merokok disarankan diulang).
“Perlu juga menanyakan hobinya, supaya saat ada keinginan merokok bisa mengalihkan ke hobi. Juga minta untuk bercerita ke orang terkasih bahwa dia mau berubah dan butuh dukungan,” jelas Ketua Health Promoting University (HPU) UGM itu.
Senada dengan Yayi, Made Kertaduana, aktivis kesehatan masyarakat mengungkapkan di masa Covid-19 perjuangan kesehatan masyarakat bertambah lagi.
“Ada keterlibatan industri untuk menormalisasi rokok. Mungkin saja situasi ini juga sebuah ancaman dalam industri rokok,” ujarnya.
Made mengungkapkan ada dua yang perlu diantisipasi dalam hal ini, yaitu perokok aktif dan pasif.
“Perokok kita jumlahnya 30 persen dari jumlah penduduk. Prevalensinya tinggi pada keluarga miskin, artinya pendidikan rendah, menganggap kesehatan bukan prioritas, dan sebagainya,” tuturnya.
Selain itu, kata dia, jumlah perokok remaja di Indonesia tinggi. “Mereka bisa menyebarkan (virus corona) tanpa gejala,” imbuh Made.
Made menambahkan, risiko perokok tertular maupun menjadi penular sangat besar.
Sebab, tidak mungkin merokok menggunakan masker.
“Merokok juga meningkatkan risiko batuk, bersin, atau meludah, yang menjadi sarana penularan,” ungkapnya.
Dia mengatakan, bulan ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan edukasi mengenai rokok kepada masyarakat.
Sebab, bertepatan dengan bulan ramadan, situasi Covid-19, dan juga pada 31 Mei bertepatan dengan hari tanpa tembakau.
FK-KMK UGM juga memiliki layanan konseling bagi orang yang membutuhkan dukungan untuk berhenti merokok.