Berita  

Dari Suharto, Putin, Hun Sen hingga Mugabe, mengapa sejumlah pemimpin negara ‘enggan’ turun dari kekuasaan?

Robert Mugabe yang menjadi presiden Zimbabwe selama 37
Vladimir Putin
Vladimir Putin berupaya mengubah konstitusi Rusia.

Vladimir Putin baru-baru ini berkata, dia akan mendukung undang-undang yang memungkinkannya tetap menjadi Rusia untuk dua periode ke depan–keinginan yang bertentangan dengan batas masa jabatan presiden dalam konstitusi Rusia.

Putin adalah satu dari sejumlah pemimpin negara, dari Aljazair hingga Zimbabwe, yang berkeras untuk tidak turun dari pucuk pemerintahan.

Indonesia juga menyaksikan era di mana Suharto berkuasa mulai 1966 hingga 1998, ketika ia turun di tengah aksi massa besar-besaran di berbagai kota.

Sri Budi Eko Wardani, pengajar ilmu politik di Universitas Indonesia, mengatakan untuk Suharto ada faktor konstitusi.

“Faktor konstitusi yang tidak ada aturan pembatasan kekuasaan presiden, yang dikombinasikan dengan regulasi pembatasan kebebasan politik seperti pembatasan jumlah partai, desain sistem pemilu tertutup, undang-undang subversi dan sebagainya,” kata Dani kepada BBC News Indonesia.

Pertanyaannya, apa yang membuat seseorang begitu getol memegang kekuasaan sehingga mereka berniat mengubah, bahkan melanggar ketentuan hukum?

Uang?

“Jawaban yang paling mudah adalah korupsi. Para pimpinan negara bisa mendapatkan banyak uang agar mereka tetap kaya raya,” kata Profesor Nic Cheeseman, penulis buku berjudul How To Rig an Election.

“Namun sebenarnya, ada banyak hal yang lebih rumit terjadi di pucuk kekuasaan,” tuturnya.

Yang dikhawatirkan para pemimin negara itu, menurut Cheeseman, adalah diadili setelah tak lagi menjabat.

Dan mereka memang mempunyai alasan yang masuk akal untuk cemas.

Merujuk penelitian untuk bukunya, yang digelar dari 1960 hingga 2010, 43% pemimpin di Afrika yang turun jabatan dibawa ke pengadilan, diasingkan, bahkan dibunuh.

Itu adalah ancaman yang besar, tapi belum semuanya.

Omar al-Bashir
Bekas Presiden Sudan, Omar al-Bashir (kanan) divonis bersalah dalam kasus korupsi dan genosida.

Kroni

Ada pula tekanan bahwa mereka akan kehilangan orang-orang dekat yang selama ini menyokong kekuasaan mereka, baik keluarga, kawan poliitk, pimpinan kepolisian hingga jenderal tentara.

“Bahkan ketika Anda yakin sudah saatnya Anda meletakkan jabatan, sekelompok orang akan mengetuk pintu Anda dan berkata ‘ini bukan tentang Anda’,” kata Cheeseman.

“Ini tentang ribuan orang yang sudah berkorban dan berbuat banyak hal demi Anda.”

Cheeseman menemukan bukti bahwa orang-orang di sekeliling Robert Mugabe, di periode akhir kepresidenannya di Uganda, mempengaruhi keputusannya untuk mempertahankan kekuasaan.

Robert Mugabe yang menjadi presiden Zimbabwe selama 37 tahun dijatuhkan oleh bekas kawan politiknya.

Monster

Dacher Keltner menulis tentang isu ini 10 tahun lalu dalam bukunya, The Power Paradox.

Paradoksnya bahwa orang-orang yang mendapat kekuasaan biasanya sosok yang disukai banyak.

Mereka meraih kepercayaan dari orang-orang di sekitar mereka. Ini berlaku untuk pemimpin di sebuah klub tenis hingga pimpinan negara.

Namun ketika mereka ada di puncak kekuasaan, mereka berubah menjadi sosok monster yang kejam.

Hun Sen
Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, sudah berkuasa sejak 1985.

Kajian umum menemukan kecenderungan bahwa memberi seseorang kekuasaan, bahkan untuk waktu singkat, mengubah perilaku mereka.

Mereka mulai bertindak demi keuntungan mereka semata dan kehilangan empati terhadap orang lain. Mereka mulai berpikir bahwa mereka kerap mengambil keputusan yang benar dibandingkan sebelumnya.

Mereka menjadi kasar, impulsif, dan cenderung menginterupsi pembicaraan orang lain atau menghindar menatap mata orang yang sedang berbicara dengannya.

Salah satu eksperimen paling terkenal yang dikerjakan Keltner terjadi tahun 1990-an.

Terhadap sekumpulan pelajar yang ia bagi menjadi tiga kelompok, Keltner secara acak memberi kekuasaan terhadap satu orang di antara mereka.

“Kami berkata kepada mereka bahwa kami mengenal mereka dan bahwa mereka memiliki kemampuan memimpin yang baik,” tuturnya. Namun itu hanya rekaan.

Lalu mereka memberi tugas kepada kelompok itu, Sekitar 30 menit setelahnya, Keltner meletakkan sepiring kue kering di hadapan para pelajar tersebut.

Hasilnya, orang yang diberikan kekuasaan mengambil lebih banyak kue kering.

Mereka juga makan dengan cara yang paling berantakan, membuat suara gaduh dan menjatuhkan remah-remah kue.

Merasa baik

Banyak penelitian setelah eksperimen itu menunjukkan bahwa ketika seseorang meraih kekuasaan, mereka mendapat lebih sedikit hambatan.

Anak-anak orang kaya lebih berpeluang mencuri di toko, melakukan perilaku seks yang tidak biasa atau mengumpat kepada kawan mereka.

Presiden Uganda Yoweri Museveni menjalani periode kelima kepemimpinannya.

“Dua dari tiga perilaku tidak stabil dilakukan orang dengan kekuasaan. Itu data empiris,” kata Keltner.

Dia yakin bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang adiktif. Tanpa hambatan, seseorang bebas mengejar keingingan dan hasrat, demi kepuasan diri mereka.

“Dalam benak orang di puncak kekuasaan itu dan dalam sistem otak mereka, kekuasaan terasa begitu menyenangkan.”

“Orang dengan kekuasaan merasa lebih bahagia dan dihargai. Mereka merasa memiliki status dan kehormatan yang lebih tinggi. Pikiran mereka lebih tenang, mereka lebih sehat dan menikmati kehidupan,” ujar Kaltner.

Psikopat

Keltner berkata, orang dengan kekuasaan cenderung berperilaku seperti pasien yang menghancurkan bagian otak yang menghambat mereka bertindak impulsif.

Dia merujuk penelitian yang dilakukan ahli saraf, Sukhminder Obhi.

Menjabat untuk kelima kalinya, Presiden Belarusia, Alexander Lukashenko, dikritik sebagai diktator terakhir di Eropa.

Temuan itu mendorong masukan dari orang-orang yang mengalami cedera otak.

“Beberapa orang yang cedera otak menulis surat kepada saya, mereka berkata ‘Betapa beraninya Anda? Perilaku saya lebih baik ketimbang Donald Trump’,” kata Keltner.

Jadi masuk akal bahwa pemimpin yang begitu kuat menjadi arogan. Mereka barangkali berpikir bahwa hanya mereka yang bisa memimpin.

Mereka mungkin tak bisa melihat yang terbaik bagi negara mereka.

“Setiap tahun pemimpin seperti ini menunjuk orang yang patuh pada mereka dan memecat orang yang paling kritis,” kata Cheeseman.

“Mereka mungkin tidak tahu bahwa yang mereka lakukan keliru,” ujarnya.

Dampak psikologis kehilangan kekuasaan juga besar. Penelitian terhadap kelompok primata misalnya, menemukan bahwa primata jantan dewasa bereaksi kasar ketika mereka tak lagi berkuasa.

Ujian karakter

Namun jika kekuasaan memang koruptif, mengapa tidak semua pemimpin menjadi pembunuh megalomaniak yang zalim?

Tahun 2018, guru besar ilmu psikologi di Warsawa, Polandia, Aleksandra Cislak, mengidentifikasi dua aspek berbeda dari kekuasaan.

Kekuasaan memberi kontrol terhadap kehidupan orang lain, tapi juga kontrol terhadap kehidupan mereka.

Inilah yang sebenarnya dirujuk orang-orang ketika mereka menyebut istilah pemberdayaan. Saat seorang memiliki kontrol lebih terhadap kehidupan mereka, biasanya mereka akan berprilaku lebih positif.

Kekuasaan, nyatanya, mempunyai sisi positif. Namun ketika kontrol itu lenyap, sisi koruptif kekuasaan itu lebih dominan.

“Kekuasaan baik dan bisa digunakan untuk tujuan mulia,” kata Cislak. “Akan tetapi, Anda harus siap dengan risiko yang menyertainya.”

Cislak berkata, jika para pemimpin menyadari paradoks itu, mereka lebih berpeluang menonjolkan dampak positifnya.

Dan kata-kata yang kerap diatribusikan kepada Abraham Lincoln ini pun menjadi masuk akal.

“Hampir setiap manusia bisa tahan sengsara, tapi jika Anda mau menguji watak sejati mereka, beri mereka kekuasaan.”

Sumber Artikel : https://www.bbc.com/indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *